MAKALAH ULUMUL
QUR’AN
“AL-MUHKAM DAN
AL-MUTASYABIH”
Dosen
Pembimbing : Muttaqin, M.Pd

Disusun oleh:
1.
ARINA HANINUL HAQ
2.
BERTI MUSYAROFAH
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ungkapkan
kehadirat ALLAH SWT, berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “
Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihah “. Makalah
ini berisi tentang pengerian, ciri-ciri, macam-macam ayat Muhkan dan Mutasyabih
serta Fawatihus Suwar.
Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Muttaqin, M.Pd selaku Dosen pengampu yang telah membimbing
penyelesaian makalah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyadari makalah ini masih
banyak kekurangan, karena terbatasnya ilmu yang dimiliki. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah ini di masa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah
ini dapat memberikan sumbangsih serta manfaat bagi kita semua.
Jambi, 12 November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...............................................................................................
i
DAFTAR
ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Muhkam dan
Mutasyabih.........................................................................................2
1. Pengertian
Muhkam dan Mutasyabih......................................................................2
2. Ciri-ciri
Muhkam dan Mutasyabih...........................................................................3
3. Pembagian
ayat Muhkam dan Mutasyabih..............................................................3
4. Sikap para
Ulama’......................................................................................................4
5. Hikmah ayat
Muhkam dan Mutasyabih..................................................................10
B. Fawatih
As-Suwar......................................................................................................11
1. Pengertian
Fawatih As-Suwar...................................................................................11
2. Macam-macam
bentuk Fawatih As-Suwar..............................................................11
3. Pendapat para
Ulama’...............................................................................................14
BAB
III PENUTUP
A. KESIMPULAN...........................................................................................................16
B. KRITIK.......................................................................................................................16
C. SARAN........................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah
SWT kepada manusia untuk menjadi pedoman
hidup dalam mengemban tugas sebagai Khalifah fil ardhi. Di dalamnya
diterangkan tata cara secara global mengenai permasalahan-permasalahan dunia dan
akhirat, tata cara tersebut diungkapkan
Allah Swt melalui ayat-ayatNya yang
Muhkam dan Mutasyabih.
Ayat Muhkam merupakan
Ayatullah yang artinya sudah cukup jelas untuk dipahami oleh manusia,
tidak membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri-misteri yang ada di
dalamnya, sedangkan ayat Mutasyabihah adalah firman Allah Swt yang membutuhkan
penalaran khusus untuk menguak misteri yang terkuak di dalamnya.
Tentang ayat Muhkam dan
Mutasyabihah untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan dalam makalah ini,
semoga bermanfaat.
B.
Rumusan Masalah
a.
Pengertian
Muhkam dan Mutasyabih ?
b.
Ciri-ciri
Muhkam dan Mutasyabih
c.
Pembagian
Muhkam dan Mutasyabih
d.
Sikap
para Ulama terhadap ayat Muhkam dan Mutasyabih
e.
Hikmah
ayat Muhkam dan Mutasyabih
f.
Fawatih
As-Suwar
C.
Tujuan
1.
Mengerti dan mampu menjelaskan ayat Muhkam dan Mutasyabih
2.
Dapat
menunjukkan ciri-ciri ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.
Mengerti
dan mampu menganalisis pendapat ulama’ mengenai ayat Muhkam dan Mutasyabih
4.
Dapat
menunjukkan manfaat ayat Muhkam dan Mutasyabih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MUHKAM DAN MUTASYABIHAH
1.
Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat
Muhkam menurut
bahasa terambil dari hakamutud daabah wa ahkamat , artinya melarang.[1]
Muhkam juga dapat diartikan kuat, kokoh, rapi dan indah susunannya.[2]
Kata Muhkam, secara etimologis, merupakan bentuk ubahan dari kata ihkam
yang artinya urusan itu baik atau pokok. Sedangkan muhkam ialah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih,
indah dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.
Kata Mutasyabih
berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antar dua hal. Tasyabaha,
Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain
sehingga menjadi kabur, tercampur.
Ada beberapa
pengertian yang yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai Muhkam dan
Mutasyabihat:
a.
Menurut As-Sayuthi Muhkam adalah
sesuatu yang jelas artinya, sedangkan
Mutasyabih adalah sebaliknya.[3]
b.
Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah
ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadznya, sedangkan
Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal,
memerlukan takwil, dan sulit dipahami.[4]
c.
Menurut Manna’ Al-Qaththan Muhkam
adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan
keterangan lain, sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan
penjelasan dengan menunjuk pada ayat lain.[5]
Dari para
pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ayat Muhkam adalah ayat
yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan
keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang Muhkam ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas, lain halnya dengan ayat-ayat
mutasyabihat.
Ayat
Mutasyabihat adalah kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’anyang masih
belum jelas maksudnya, tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu, hal itu
karena ayat Mutasyabih besifat mujmal (global)
dan membutuhkan rincian yang mendalam. Oleh sebab itu seseorang dapat
mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.[6]
2.
Ciri – Ciri Muhkam dan Mutasyabihah
·
Ciri-ciri Muhkam :
-
Ayat-ayatnya sudah jelas
-
Ayat-ayatnya hanya mempunyai satu
makna
·
Ciri-ciri Mutasyabihah
-
Ayat-ayatnya samar-samar dalam pengertiannya
-
Ayat-ayatnya memiliki banyak makna
3.
Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabihah
Ayat-ayat
Mutasyabihat dapat dikategorikan kepada tiga bagian, yaitu :
1.
Mutasyabih dari Segi Lafaz[7]
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua macam :
a.
Kesamaran dari
lafaz Mufradhnya karena terdiri dari lafaz ghorib (asing).
Contoh : Lafadz ا با dalam surah Abbasa ayat
31 yang berbunyi : و ا
با و فا كحة (dari
buah-buahan serta rerumputan) . Di sini kata ا با adalah kata yang jarang digunakan dalam kosakata bahasa Arab,
sehingga jika tidak penjelasan dari lafal berikutnya maka akan sulit dipahami.
b.
Lafaz yang
dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya
1.
Mutasyabih karena ringkasan kalimat,
seperti firman Allah SWT :
و ا ن خفتم ا لا تقسطو ا في اليتا مي
Yang dimaksud dengan اليتا مي disini juga mencakup اليتيمما ت
2.
Mutasyabih karena luasnya kalimat,
seperti firman Allah SWT
ليس
كمثله شئ niscaya akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan
ليس
مثل شئ .
3.
Mutasyabih karena susunan
kalimatnya, seperti firman Allah Swt:
انزل
علي عبد ه الكتا ب و لم يجعل له عوجا قيما
Akan mudah dipahami jika diungkapkan dengan :
انزل
علي عبد ه الكتا ب قيما و لم يجعل له عوجا
2.
Mutasyabih dari Segi Maknanya
Mutasyabih ini
menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan
terjadinya. Sesua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara konkret
karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun dan juga karena
keterbatasan akal manusia untuk menjangkau ayat-ayat tersebut.
3.
Mutasyabih dari Segi Lafaz dan Maknanya
Seperti
contoh berikut ini :
و ليس اللبر با ن تا تو ا ا لبيو ت من ظهو ر ها و لكن ا لبر من تقي
Artinya : “dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya akan tetapi kebajikan itu ialah kebajukan orang yang bertakwa
“ (Al-Baqarah:184)
Di sini orang
yang tidak memahami tradisi arab jahiliah akan kesulitan untuk memahaminya
karena ada keserupaan pada lafadz dan maknanya.
4.
Sikap Para Ulama terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula
oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan
pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut.

Artinya:
"... -padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabi) (Q.S. Ali Imran [3]: 7)
Apakah ungkapan
wa Al-rasikhuna fiAI-'ilm6'\-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh
yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui
orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi
Al-'ilm sebagai mubtada', sedangkan lafazh yaquluna sebagai khabar? Ini artinya
bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang
yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.[8]
Ada sedikit
ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah
Mujahid (w. 104 H.) yang diperolehnya dari Ibn 'Abbas. Ibn
Al- Mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid, dari Ibn
Abbas, mengenai surat Ali 'Imran [3] ayat 7. Ibn Abbas berkata, "Aku di
antara orang yang mengetahui takwilnya."[9]
Imam An-Nawawi nun termasuk dalam kelompok ini. Dalam Syarah Muslim, ia
berkata, "Pendapat inilah yang paling sahih karena tidak mungkin Aliah
meng-khitab-i hamba-hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk
mengetahuinya."[10]
Ulama lain yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
lihaq Asy-Syirazi (w. 476 H.). Asy-Syirazi berkata, Tidak ada satu ayat pun
yang maksudnya hanya diketahui Allah." Para ulama sesungguhnya juga
mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?"[11]
Sebagian besar
sahabat, tabi'in, dan generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah,
berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula yang merupakan riwayat
paling sahih dari Ibn 'Abbas.
As-Suyuthi
mengatakan bahwa validitas pendapat kelompok kedua diperkuat riwayat-riwayat
berikut ini:[12]
1.
Riwayat yang dikeluarkan 'Abd
Ar-Razzaq dalam tafsirnya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn 'Abbas.
Ketika membaca surat 'Ali 'Imran [3]: 7, Ibn 'Abbas memperlihatkan bahwa huruf
wawu pada ungkapan wa ar- rasikhuna berfungsi sebagai isti'naf (tanda kalimat baru).
Riwayat ini, walaupun tidak didukung salah satu raqam qira'ah, derajatnya
—serendah-rendahnya—adalah kabar dengan sanad sahih yang berasal dari Turjuman
Al-Quran (julukan Ibn 'Abbas). Oleh karena itu, pendapatnya harus didahulukan
daripada pendapat selainnya. Pendapat ini didukung pula kenyataan bahwa surat
'Ali 'Imran [3] ayat 7 mencela orang-orang yang memanfaatkan ayat-ayat
mutasyabihuntuk menuruti hawa nafsunya dengan mengatakan "hatinya ada
kecenderungan pada kesesatan" dan "menimbulkan fitnah." Sebagai
bandingannya, Allah memuji orang-orang yang menyerahkan sepenuhnya pengetahuan
tentang ayat-ayat mutasyabih kepada-Nya sebagaimana Allah pun telah memuji
orang-orang yang mengimani kegaiban.
2.
Ibnu Abu Dawud dalam Al-Mashahif,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa di antara
qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :

Artinya:
"Sesungguhnya penampilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik
Allahsemata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih,;."
3.
Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya
mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW.
pernah bersabda ketika mengomentari surat 'Ali 'Imran [3] ayat 7 berikut:

Artinya:
"Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takjilnya, orang
itulah yang dicela Allah maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”[13]
4.
Ath-Thabrani, dalam Al-Kabir,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-Asy'ari. Ia pernah mendengar
Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya:
"Ada tiga hal yang aku khawatirkan dari umatku, yaitu pertama,
menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan
terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyabih, padahal
hanya Allah lah yang mengetahuinya."
5.
Ibn Ali Hatim mengeluarkan sebuah
riwayat dari Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman ilmu pada surat Ali
'Imran [3] ayat 7 itu adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih, bukan berusaha
untuk mengetahuinya.
6.
Ad-Darimi, dalam Musrsad-nya,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan bahwa
seorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian, ia bertanya-tanya
tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. la lalu diperintahkan menemui 'Umar. 'Umar
sedang memasang tangga ke pohon kurma ketika orang itu menemuinya.
"Siapakah engkau?" tanya 'Umar. "Saya adalah 'Abdullah bin
Shabigh." 'Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga
sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa 'Umar
memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya.
Ar-Raghib
Al-Asfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi persoalan ini. Ia membagi
ayat-ayat mutasyabih -dari segi kemungkinan mengetahui maknanya pada tiga
bagian:[14]
1.
Bagian yang tidak ada jalan sama
sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari Kiamat, keluar
binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2.
Bagian yang menyebabkan manusia
dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing di dalam
Al-Quran.
3.
Bagian yang terletak di antara
keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya.
Inilah yang diisyaratkan sabda Nabi kepada Ibn 'Abbas:

Artinya:
"Ya Allah berilah pemadaman kepadanya dalam bidang agama dan ajarkanlah
takwil kepadanya."
Di antara ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang berbicara tentang
sifat- sifat Allah. Ibn Al-Labban telah menulisnya secara khusus dalam kiU-
RaddAI- Ayat Al-Mutasyabihat. Contoh:

Artinya:
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayamdi atas
'Arsy."(Q.S. Thahaa (10) : 5)

Artinya:
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa/ kecuali wajah A Hal;."
(Q.S. Al-Qashsash [28]: 88)

Artinya:
"Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan." (QS. Ar-Rahman [55] : 27)

Artinya:
"Tangan Allah di atas tangan mereka."(Q.S. Al-Fath(48) :
10)

Artinya:
"Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris."
|Q5. Al-Fajr[89]:22.)

Artinya:
"Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua
hamba-Nya." (Q5. Al-An'am [6] : 61)

Artinya:
"Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan
kewajiban terhadap Allah." (Q.S. Al-An'am [6]; 61)
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua
kelompok, yaitu:
1.
Madzhab salaf, yaitu para ulama yang
memercayai dan mengimani ayat- ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan Al- Quran. Di antara ulama yang masuk ke dalam
kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika ditanya tentang istiwa', ia menjawab

Artinya:
"Istiwa'
itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui,dan mempelajarinya bid'ah. Aku
mengira engkau adalah orang tidak baik,keluarkan dia dari tempatku.'[15]
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh
generasi dan para pemuka umat Islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih
imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada madzhab ini pulalah, para imam dan
pemuka hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para
teolog dari kalangan kami yang menolak madzhab ini.[16]
2.
Madzhab khalaf, yaitu para ulama
yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut
sifat Allah sehingga melahirkan artiyang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka
umumnya berasal dari kalangan ulama muta'akhirin. Imam Al-Haramain (W. 478 H.)[17]
pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam
Ar-Risalah An- Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam
beragama adalah mengikuti madzhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan
cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih[18]
Berbeda dengan
ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih
itu, mengimani hal-hal gaib sebagaimana dituturkan Al-Quran, dan menyerahkan
bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan
penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa 'ditakwilkan dengan
"keluhuran" yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan. "Kedatangan Allah" ditakwilkan dengan
kedatangan perintahnya. "Allah berada di atas hamba- Nya" menunjukkan
Kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa Dia menempati suatu tempat.
"Sisi Allah" ditakwilkan dengan hak Allah. "Wajah dan mata
Allah" ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. 'Tangan" ditakwilkan dengan
kekuasaan-Nya, dan "diri" ditakwilkan dengan siksa-Nya.'9
Demikianlah, prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan antropomorpistikAllah
pada ayat-ayat Al-Quran ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian
Allah.
Untuk menengahi
kedua madzhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-'ld mengatakan bahwa
apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat- ayat mutasyabih dikenal oleh
lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan
Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula
menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu
dalam rangka menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat
dipahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap
tawaqquf. Contohnya adalah Q.S. Az-Zumar [39] ayat 56 yang kami maknai dengan
hak dan kewajiban Allah.[19]
Ibnu Qutaibah
(w. 276 H.) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama,
makna yang dipilih sesuai dengan hakikatkebenaran yang diakui oleh mereka yang
memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahiriyyah
yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer
oleh masyarakat Arab pada masa awal.[20]
5.
Hikmah Ayat Muhkam dan Mutasyabihah
·
Hikmah ayat Muhkam
1)
Menjadi rahmad bagi manusia
khususnya orang-orang yang berkemampuan bahasa arab rendah
2)
Memudahkan manusia mengetahui arti
dan maksudnya
3)
Mendorong ummat manusia untuk giat
dalam memahami dan mempelajari Al-Qur’an
4)
Memperlancar usaha penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an
5)
Mempercepat usaha tahfidzul Qur’an
·
Hikmah ayat Mutasyabih
1)
Memberikan ruang gerak yang luas
bagi umat islam dalam proses pengamalan isi Al-Qur’an
2)
Memberikan kesadaran kepada manusia,
bahwa dirinya hamba yang lemah
3)
Mendorong umat Islam untuk lebih
giat belajar Al-Qur’an
4)
Ujian dan cobaan bagi kekuatan iman manusia, apakah dengan
disamarkan ayat-ayat Mutasyabihah tersebut, manusia akan tetap beriman kepada
Allah Swt atau akan mengingkariNya.
5)
Menambah pahala Ummat manusia karena
adanya kesulitan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihah yang memerlukan
keuletan, ketekunan,kesabaran dan kesungguhan.
B.
FAWATIH SUWAR
1.
Pengertian Fawatih Suwar
Istilah Fawatih
as-Suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar[21]. Fawatih
merupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-suwar
berarti adalah jamak taksir dari surah, yang berarti surah, dan as-suwar
bermakna surah-surah. Dengan demikian, istilah Fawatih as-suwar secara
harfiah berarti “pembuka surah-surah”.
Berdasarkan
makna harfiah di atas, maka secara istilah fawatih as-suwar berarti “ suatu ilmu
yang mengkaji tentang bentuk-bentuk
huruf, kata, atau kalimat permulaan surah-surah Al-Qur’an. Fawatih Suwari juga dapat diartikan sebagai
kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan bagian dari
Mutasyabihat karena bersifat mujmal, mu’awal dan musykil.[22]
Tokoh yang
banyak mengkaji mengenai fawatih as-suwar adalah Ibnu Abi Al- Usaybi’
dengan karyanya Al-Khawathir As-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Para
mufassir setelahnya, ketika membahas ilmu fawatih as-suwar,
banyak merujuk kepada buku tersebut.
2.
Macam-macam Bentuk Fawatih As-Suwari
Surah-surah
Al-Qur’an dimulai dengan berbagai bentuk. Ia dimulai dengan bentuk yang
bervariasi; ada yang sama dan ada pula yang berbeda. As-Sayuti, dengan merujuk
kepada Ibnu Abi Al-Usaybi’, membagi bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat
pembukaan surah-surah Al-Qur’an itu kepadaa sepuluh macam, yaitu sebagai
berikut :
1.
Surah-surah yang dimulai dengan
pujian (ats-tsana). Terdapat 14 surah yang diawali dengan pujian, yaitu
tahmid, tabaraka, dan tasbih.
Yang menggunakan lafal Tahmid terdiri dari lima surah, yakni
:
-
Surah Al-Fatihah (1)
-
Surah Al-An’am (6)
-
Surah Al-Kahfi (18)
-
Surah Saba’ (34)
-
Surah Fathir (35)
Yang menggunakan lafal tabaraka ada dua surah, yakni:
-
Al-Mulk (67)
-
Al-Furqan (25)
Yang menggunakan lafal tasbih ada tujuh surah yakni:
-
Al-Isra’ (17)
-
Al-Hadid (57)
-
Al-Hasyar (59)
-
Ash-Shaff (61)
-
Al-Jumu’ah (62)
-
At-Taghabun (64)
-
Al-A’la (87)
2.
Surah-surah yang dimulai dengan
huruf-huruf hijaiyah atau huruf Muqaththa’ah (huruf potong).
Terdapat 29 surah yang
dimulai dengan huruf potong tersebut. Adapun 29 surah itu terdiri dari lima
bentuk, yaitu:
a.
Surah yang dimulai dengan satu
huruf. Terdapat dalam tiga surah, yakni :
-
Surah Qaf (50) yang dimulai dengan huruf ق
-
Surah
Al-Qalam (68) yang dimulai dengan huruf ن
-
Surah
Shad (38) yang dimulai dengan huruf ص
b.
Surah yang dimulai dengan dua huruf.
Hal ini berjumlah sepuluh surah, tujuh surah dimulai dengan حم[23], dan tiga surah lainnya, yakni :
-
Surah
Thaha (20) yang dimulai dengan طه
-
Surah
Yasin (36) yang dimulai dengan يس
-
Surah
An-Naml (27) yang dimulai dengan طس
Tujuh dari
sepuluh surah diatas dinamakan hawwaamiim.[24]
c.
Surah yang dimulai dengan tiga
huruf, yaitu berjumlah 13 surah. Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an, yaitu ا لم sebanyak 6 surah, ا لر sebanyak
lima surah, dan طسم dua surah.
Enam surah yang diawali ا لم adalah :
-
Surah Al-Baqarah (2)
-
Surah Ali Imran (3)
-
Surah Al- Ankabut (29)
-
Surah Ar-Rum (30)
-
Surah Lukman (31)
-
Surah As-Sajadah (32).
Lima Surah yang diawali ا لر adalah :
-
Surah Yunus (10)
-
Surah Hud (11)
-
Surah Yusuf (12)
-
Surah Ibrahim (14)
-
Surah Hijr (15)
Dua surah yang diawali dengan طسم adalah :
-
Surah As-Syu’araa (26)
-
Surah Al Qashash (28)
d.
Surah yang dimulai dengan empat huruf ada dua surah,
yaitu :
-
Surah Al-A’raf (7) diawali dengan ا لمص
-
Surah Ar Ra’du (13) diawali dengan ا لمر
e.
Surah yang diawali dengan lima
huruf, hanya ada satu yaitu :
-
Surah Maryam (19) yang diawali
dengan كهيعص
3.
Surah yang dimulai dengan panggilan
( an-nida’ ).
Hal ini berjumlah 10 surah, lima diantaranya panggilan kepada Nabi
Muhammad Saw, dan lima lainnya kepada ummat.
Panggilan kepada Nabi Muhammad Saw terdapat dalam surah berikut,
yakni:
-
Surah Al-Ahzab (33)
-
Surah Ath-Thalaq (65)
-
Surah At-Tahrim (66)
-
Surah Al-Muzzammil (33)
-
Surah Al-Muddatstsir (74)
Panggilan kepada Ummat terdapat dalam surah berikut ini, yaitu:
-
Surah An-Nisa’ (4)
-
Surah Al-Hajj (22)
-
Surah Al-Maidah (22)
-
Surah Al-Mumtahanah (60)
-
Surah Al-Hujurat (49)
4.
Surah yang dimulai dengan jumlah khabariyah
(kalimat berita).
-
Surah Al-Anfal (28)
-
Surah Al-Mu’minun (23)
5.
Surah yang dimulai dengan qasam
(sumpah).
-
Surah Al-Buruj (85)
-
Surah Al-‘Ashr (103)
-
Surah As-Syams (91)
6.
Surah yang dimulai dengan jumlah syarthiyah.
-
Surah Al-Waqi’ah (56)
-
Surah Az-Zalzalah (99)
-
Surah An-Nashr (110)
7.
Surah yang dimulai dengan kalimat
perintah (al-amr.
-
Surah Al ‘Alaq (96)
-
Surah Al-Kafirun ( 109)
-
Surah Al-Ikhlas (112)
-
Surah An-Nas (14)
-
Surah Al-Falaq (113)
-
Surah Al A’la (97)
8.
Surah yang diawali dengan pertanyaan
( istifham ).
-
Surah Al-Insan (76)
-
Surah Al-Ma’un (107)
9.
Surah yang dimulai dengan do’a dan
harapan.
-
Surah l-Mutafhifhin (83)
-
Surah Al-Humazah (109)
-
Surah Al-Lahab (111)
10. Surah
yang dimulai dengan Ilat (ta’lil)
-
Surah Al-Quraisy (106)
3.
Pendapat Ulama tentang Makna Fawatih As-Suwari
Fawatih As-Suwari
(pembuka-pembuka surah) ada 29 macam, yang terdiri dari 13 bentuk.[25]
Adapun huruf yang paling banyak digunakan secara berurutan ialah: alif, lam,
mim, ha (diringankan), ra, sin, tha, shad, ha(diberatkan), ya, ‘ain, qaf, nun.
Huruf-huruf awalan yang tidak disebut semuanya berjumlah 14. Itu berarti
setengah dari jumlah huruf hijaiyah (alfabet).
Fawatih
As-Suwari ini menjadi bukti kepada bangsa Arab, bahwa Al-Qur’an digunakan
dengan mempergunakan huruf-huruf yang mereka kenal. Ini merupakan teguran keras
bagi mereka dan sekaligus membuktikan ketidakmampuan mereka membuat semisal
Al-Qur’an.[26]
Apabila kita klasifikasikan,
huruf-huruf yang terdapat dalam Fawatih As-Suwari, yaitu:
a.
Golongan huruf-huruf halq[27]
(yang suaranya keluar dari kerongkongan)
b.
Golongan huruf-huruf mahmusah[28]
(yang suaranya seperti bisikan)
c.
Golongan huruf-furuf mahjurah (yang
suaranya dikeraskan) ialah hamzaah, miim, laam, ‘ain, thaa, qhaf, ya, nun.
d.
Golongan huruf Syafahi (suaranya di
bibir ) ialah mim.
e.
Golongan huruf qalqalah (suaranya
bergerak apabila dimatikan) ialah qaf dan tha.
Para ulama
salaf dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat yang terletak pada awal surah
berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikian
rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan yang seperti
Al-Qur’an.[29]
Untuk lebih jelasnya dari apa yang dikemukakan diatas, berikut ini pendapat
atau penafsiran para mufassir tentang Fawatih As-Suwari, diantaranya adalah:
1.
Mufassir dari Kalangan Tasawuf
Ulama Tasawuf berpendapat bahwa
fawatih As-Suwari, adalah huruf-huruf yang terpotong-potong yang masing-masing
diambil dari nama Allah, atau yang tiap-tiap hurufnya merupakan pengganti dari
suatu kalimat yang berhubungan dengan yang sesudahnya, atau huruf itu menunjuk
kepada maksud yang dikandung oleh surah yang surah itu dimulai dengan
huruf-huruf yang terpotong-potong itu.
2.
Mufassir Orientalis
Pendapat yang palling jauh
menyimpang dari kebenaran adalah dari seorang Orientalis yang bernama Nolkede,
yang kemudian dikoreksi bahwa awalan surah itu tidak lain adalah huruf depan
dan huruf belakang dari nama-nama para
sahabat Nabi. Misalnya, huruf sin adalah dari nama Sa’ad bin Abi Waqash.
3.
Al-Khuwaibi
Al-Khuwaibi mengatakan bahwa
kalimat-kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi. Mungkin adasuatu waktu
Nabi berada dalam keadaan sibuk dan lain sebagainya.
4.
Rasyid Ridha
Rasyid Ridha berpendapat bahwa tanbih
yang dimaksud di atas adalah dihadapkan kepada orang-orang musyrik di Mekah,
kemudian kepada Ahli Kitab di Madinah.
5.
Mufassir dari Kalangan Syi’ah
Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa
jika huruf-huruf awalan itu dikumpulkan setelah dihapus ulangan-ulangannya maka
akan berarti صرا ط علي علي حق “
Jalan Ali adalah kebenaran yang kita pegang teguh “. Pentakwilan itu kemudian
dijawab oleh kelompok ahlu sunnah, dan jawabannya berdasarkan pengertian yang
mereka peroleh dari huruf-huruf awalan itu yang juga dihapus
ulangan-ulangannya, dengan mengatakan “benarlah jalanmu bersama kaum ahlu
Sunnah”.
Dari pendapat para ahli di atas,
dapat dilihat bahwa pentakwilan sebuah ayat sangat banyakmacamnya. Hal ini
boleh jadi didasari oleh pendidikan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya serta
kecenderungan mereka mengkaji Al-Qur’an secara lebih luas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga
tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.
2. Mutasyabihat adalah
kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, tersembunyi dan
memerlukan keterangan tertentu, hal itu karena ayat Mutasyabih besifat mujmal
(global) dan membutuhkan rincian yang
mendalam.
3. Ciri-ciri Muhkam adalah lafalnya sudah dapat
dipahami akal dan hanya mempunyai satu
penafsiran makna, sedangkan ciri-ciri
Mutasyabihah adalah lafalnya masihmembutuhkan penalaran karena memiliki
banyak wajah dan hanya Allah Swt yang mengetahui maksud utama arti ayat tersebut.
4.
Istilah Fawatih as-Suwar terdiri dari
dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar.
Fawatih merupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka.
Sedangkan as-suwar berarti adalah jamak taksir dari surah,
yang berarti surah, dan as-suwar bermakna surah-surah. Dengan demikian,
istilah Fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”. Secara
istilah fawatih as-suwar berarti
“ suatu ilmu yang mengkaji tentang
bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat permulaan surah-surah Al-Qur’an.
5.
Hikmah ayat-ayat Muhkam dan
Mutasyabihah sangat banyak, salah satunya agar kita lebih giat lagi dalam
mendalami dan mempelajari Al-Qur’an sbagai sumber sekaligus pedoman kita.
B.
Kritik dan
Saran
Demikianlah makalah
ini penulis uraika, apabila terdapat
kesalahan, hendaknya memberikan kritik dan sarannya agar pembuatan makalah
penulis bisa lebih baik lagi. Dan diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca
dapat mengetahui dan memahami ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihah serta
Fawatihus Suwar dengan lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Qathan Mana’ul. 1995. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 . Jakarta:
Rineka Cipta
As-Shalih Dr. Subhi. 2008. Membahas
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumul Qur’an, Juz 2, Dar Al-Fikr.
Muhammad Al-Bakr Ismail. 1991. Dirasat fi Ulumul Qur’an,
cet.1 Dar Al-Manar,.
Soleh Dar Al-Subhi. 1993. Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahits
fi Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,
Drs. Anwar Abu, M.Ag, 2009.Ulumul Qur’an. Jakarta: Amzah
Dr. M. Yusuf, Kadar. 2010. Studi Al-Qur’an. Jakarta : Amzah
[1] Mana’ul
Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 . Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hlm.
1
[2] Dr.
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdau,
2008, hlm. 398
[3]
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumul Qur’an, Juz 2, Dar Al-Fikr, hlm. 2
[4] Muhammad
Al-Bakr Ismail, Dirasat fi Ulumul Qur’an, cet.1 Dar Al-Manar, 1991,
hlm.211
[5] Mana’ul
Qathan, op.cit., hlm. 3
[6] Dar
Al-Subhi Soleh. Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahits fi Ulumul Qur’an,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hlm. 372
[7] Drs. Abu
Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an , Jakarta : Amzah, 2009 hlm. 79
[8]Ibid., hlm. 146.
[9]Ibid.
[10]Manna
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Mansyurat AI-'Ashr Al-Hadis, ttp.,
1973, hlm. 217.
[11]Subhi
Ash-Shalih, Mabahits fi 'Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam Ii Al-Malayyiä Beirut.
1988, hlm. 282.
[12]Ibid.. hlm.
147-149.
[13]Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya.
[14]Ash-Shalih, op.cit.,him.
282-283.
[15]Ibid., hlm.
284.
[16]Al-Husni, op.
cit., hlm. 151.
[17]Ia adalah
'Abdul Malik bin Abi 'Abdillah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Asy-Syafi'i
Al-'lraqi, Abu Al- Ma'ali. la adalah gurunya Imam Al-Ghazali dan murid
terkemuka Imam Asy-Syafi'i Biografi lengkapnya dapat dilihat pada Ibnu
Khallikan, Wafayat Al-A'yan, Jilid 1. hlm. 287. Lihat pula Ash-Shalih, op. cit.,
hlm. 284.
[18]Al-Hasani, op.
cit., hlm. 151
[19]Ash-Shalih, op.
cit, hlm, 285.
[20]Al-Husni, op.
cit., hlm. 151-152.
[21] Dr.
Kadar M. Yusuf, M.Ag, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2010, hlm.55
[22] Drs.
Abu Anwar, S.Ag, Ulumul Qur’an, Jakarta: Amzah, 2009, hlm.88
[23] Ketujuh
surah tersebut adalah Surah Al-Mu’min (40), Fushilat (41), Asy-Syura (42),
Az-Zukhruf (43), Ad-Dukhan (44), Al-Jasyiyah (45), dan Al-Ahqaf (46).
[24] Hawwaamiim
(jamak dari haa miim) , surah-surah yang diawali dengan ha dan mim. Lihat
pada H. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995, hlm. 124
[25] Tiga
bentuk tersebut adalah: Alif Lam Mim, Tha Siin Miim, ‘Ain Siin Qaaf, Alif
Laam Mimm Shaad, Alih Laam Miim Raa, Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad, Yaa Siin, Thaa Siin, Thaa Haa, Shad, Qaaf, Nuun.
Lihat pada tafsir Al-Kasysyaf 1, hlm: 304.
[26] Subhi
Soleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm.
304
[27]
Hurufnya berjumlah enam buah, yaitu hamzah, ha(berat), ‘Ain, haa (ringan),
ghain, dan kha.
[28] Huruf
mahmusah ada sepuluh buah, yaiti faa, haa(ringan), tsa, ha(berat), syiin,
khaa, shad, siin, kaaf, dan taa.
[29] M.
Hasbi As-Shiddiqi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, hlm. 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar