Sabtu, 21 November 2015




MAKALAH ULUMUL QUR’AN
“AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH”
Dosen Pembimbing : Muttaqin, M.Pd



 














     Disusun oleh:
1.      ARINA HANINUL HAQ
2.      BERTI MUSYAROFAH



JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI 2015











KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ungkapkan kehadirat ALLAH SWT, berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul  “ Ayat-Ayat  Muhkam dan Mutasyabihah “. Makalah ini berisi tentang pengerian, ciri-ciri, macam-macam ayat Muhkan dan Mutasyabih serta Fawatihus Suwar.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Muttaqin, M.Pd  selaku Dosen pengampu yang telah membimbing penyelesaian makalah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, karena terbatasnya ilmu yang dimiliki. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih serta manfaat bagi kita semua.



Jambi, 12 November 2015


Penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang...........................................................................................................1
B.      Rumusan Masalah......................................................................................................1
C.      Tujuan.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.     Muhkam dan Mutasyabih.........................................................................................2
1.      Pengertian Muhkam dan Mutasyabih......................................................................2
2.      Ciri-ciri Muhkam dan Mutasyabih...........................................................................3
3.      Pembagian ayat Muhkam dan Mutasyabih..............................................................3
4.      Sikap para Ulama’......................................................................................................4
5.      Hikmah ayat Muhkam dan Mutasyabih..................................................................10
B.      Fawatih As-Suwar......................................................................................................11
1.      Pengertian Fawatih As-Suwar...................................................................................11
2.      Macam-macam bentuk Fawatih As-Suwar..............................................................11
3.      Pendapat para Ulama’...............................................................................................14
BAB  III PENUTUP
A.     KESIMPULAN...........................................................................................................16
B.      KRITIK.......................................................................................................................16
C.      SARAN........................................................................................................................16







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah  SWT kepada manusia untuk menjadi pedoman  hidup dalam mengemban tugas sebagai Khalifah fil ardhi. Di dalamnya diterangkan  tata cara secara global  mengenai permasalahan-permasalahan dunia dan akhirat, tata cara tersebut diungkapkan  Allah Swt melalui ayat-ayatNya yang  Muhkam  dan  Mutasyabih.
Ayat  Muhkam  merupakan  Ayatullah yang artinya sudah cukup jelas untuk dipahami oleh manusia, tidak membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri-misteri yang ada di dalamnya, sedangkan ayat Mutasyabihah adalah firman Allah Swt yang membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri yang terkuak di dalamnya.
Tentang ayat  Muhkam dan Mutasyabihah untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan dalam makalah ini, semoga bermanfaat.
B.     Rumusan  Masalah
a.       Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
b.      Ciri-ciri Muhkam dan Mutasyabih
c.       Pembagian Muhkam dan Mutasyabih
d.      Sikap para Ulama terhadap ayat Muhkam dan Mutasyabih
e.       Hikmah ayat Muhkam dan Mutasyabih
f.       Fawatih As-Suwar

C.    Tujuan
1.      Mengerti dan mampu menjelaskan ayat Muhkam dan Mutasyabih
2.      Dapat menunjukkan ciri-ciri ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.      Mengerti dan mampu menganalisis pendapat ulama’ mengenai ayat Muhkam dan Mutasyabih
4.      Dapat menunjukkan manfaat ayat Muhkam dan Mutasyabih







BAB II
PEMBAHASAN

A.   MUHKAM DAN MUTASYABIHAH

1.      Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat
Muhkam menurut bahasa terambil dari hakamutud daabah wa ahkamat , artinya melarang.[1] Muhkam juga dapat diartikan kuat, kokoh, rapi dan indah susunannya.[2] Kata Muhkam, secara etimologis, merupakan bentuk ubahan dari kata ihkam yang artinya urusan itu baik atau pokok. Sedangkan muhkam  ialah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, indah dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.
Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antar dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur.
Ada beberapa pengertian yang yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai Muhkam dan Mutasyabihat:
a.       Menurut As-Sayuthi Muhkam adalah sesuatu yang jelas artinya, sedangkan  Mutasyabih adalah sebaliknya.[3]
b.      Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami.[4]
c.       Menurut Manna’ Al-Qaththan Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk pada ayat lain.[5]
Dari para pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ayat Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang  Muhkam  ini tidak memerlukan takwil karena telah  jelas, lain halnya dengan ayat-ayat mutasyabihat.
Ayat Mutasyabihat adalah kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’anyang masih belum jelas maksudnya, tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu, hal itu karena ayat Mutasyabih besifat mujmal (global)  dan membutuhkan rincian yang mendalam. Oleh sebab itu seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.[6]
2.      Ciri – Ciri Muhkam dan Mutasyabihah
·         Ciri-ciri Muhkam :
-          Ayat-ayatnya sudah jelas
-          Ayat-ayatnya hanya mempunyai satu makna
·         Ciri-ciri Mutasyabihah
-          Ayat-ayatnya samar-samar dalam pengertiannya
-          Ayat-ayatnya memiliki banyak makna

3.      Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabihah

Ayat-ayat Mutasyabihat dapat dikategorikan kepada tiga bagian, yaitu :


1.      Mutasyabih dari Segi Lafaz[7]

Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua macam :

a.      Kesamaran dari lafaz Mufradhnya karena terdiri dari lafaz ghorib (asing).
Contoh : Lafadz ا با  dalam surah Abbasa ayat 31 yang berbunyi : و ا با و فا كحة   (dari buah-buahan serta rerumputan) . Di sini kata ا با adalah kata yang jarang digunakan dalam kosakata bahasa Arab, sehingga jika tidak penjelasan dari lafal berikutnya maka akan sulit dipahami.
b.      Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya

1.      Mutasyabih karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah SWT :
و ا ن خفتم ا لا تقسطو ا في اليتا مي

Yang dimaksud dengan      اليتا مي disini juga mencakup  اليتيمما ت 

2.      Mutasyabih karena luasnya kalimat, seperti firman Allah SWT

ليس كمثله شئ niscaya akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan 
ليس مثل شئ  .

3.      Mutasyabih karena susunan kalimatnya, seperti firman Allah Swt:
انزل علي عبد ه الكتا ب و لم يجعل له عوجا قيما  
Akan mudah dipahami jika diungkapkan dengan :
انزل علي عبد ه الكتا ب قيما و لم يجعل له عوجا


2.      Mutasyabih dari Segi Maknanya
Mutasyabih ini menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Sesua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun dan juga karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkau ayat-ayat tersebut.

3.      Mutasyabih dari Segi Lafaz dan Maknanya

Seperti contoh berikut ini :

و ليس اللبر با ن تا تو ا ا لبيو ت من ظهو ر ها و لكن ا لبر من  تقي
Artinya : “dan bukanlah  kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya akan tetapi kebajikan itu ialah kebajukan orang yang bertakwa “ (Al-Baqarah:184)
Di sini orang yang tidak memahami tradisi arab jahiliah akan kesulitan untuk memahaminya karena ada keserupaan pada lafadz dan maknanya.

4. Sikap Para Ulama terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut.
Artinya:
"... -padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabi) (Q.S. Ali Imran [3]: 7)
Apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fiAI-'ilm6'\-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi Al-'ilm sebagai mubtada', sedangkan lafazh yaquluna sebagai khabar? Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.[8]
Ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah Mujahid (w. 104 H.) yang diperolehnya dari Ibn 'Abbas. Ibn Al- Mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid, dari Ibn Abbas, mengenai surat Ali 'Imran [3] ayat 7. Ibn Abbas berkata, "Aku di antara orang yang mengetahui takwilnya."[9] Imam An-Nawawi nun termasuk dalam kelompok ini. Dalam Syarah Muslim, ia berkata, "Pendapat inilah yang paling sahih karena tidak mungkin Aliah meng-khitab-i hamba-hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya."[10] Ulama lain yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu lihaq Asy-Syirazi (w. 476 H.). Asy-Syirazi berkata, Tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui Allah." Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?"[11]
Sebagian besar sahabat, tabi'in, dan generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula yang merupakan riwayat paling sahih dari Ibn 'Abbas.
As-Suyuthi mengatakan bahwa validitas pendapat kelompok kedua diperkuat riwayat-riwayat berikut ini:[12]
1.      Riwayat yang dikeluarkan 'Abd Ar-Razzaq dalam tafsirnya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Ibn 'Abbas. Ketika membaca surat 'Ali 'Imran [3]: 7, Ibn 'Abbas memperlihatkan bahwa huruf wawu pada ungkapan wa ar- rasikhuna berfungsi sebagai isti'naf (tanda kalimat baru). Riwayat ini, walaupun tidak didukung salah satu raqam qira'ah, derajatnya —serendah-rendahnya—adalah kabar dengan sanad sahih yang berasal dari Turjuman Al-Quran (julukan Ibn 'Abbas). Oleh karena itu, pendapatnya harus didahulukan daripada pendapat selainnya. Pendapat ini didukung pula kenyataan bahwa surat 'Ali 'Imran [3] ayat 7 mencela orang-orang yang memanfaatkan ayat-ayat mutasyabihuntuk menuruti hawa nafsunya dengan mengatakan "hatinya ada kecenderungan pada kesesatan" dan "menimbulkan fitnah." Sebagai bandingannya, Allah memuji orang-orang yang menyerahkan sepenuhnya pengetahuan tentang ayat-ayat mutasyabih kepada-Nya sebagaimana Allah pun telah memuji orang-orang yang mengimani kegaiban.
2.      Ibnu Abu Dawud dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa di antara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :
Artinya:
"Sesungguhnya penampilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allahsemata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih,;."

3.      Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda ketika mengomentari surat 'Ali 'Imran [3] ayat 7 berikut:
Artinya:
"Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takjilnya, orang itulah yang dicela Allah maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”[13]

4.      Ath-Thabrani, dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-Asy'ari. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:
"Ada tiga hal yang aku khawatirkan dari umatku, yaitu pertama, menumpuk-numpuk harta sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua, mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyabih, padahal hanya Allah lah yang mengetahuinya."
5.      Ibn Ali Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah bahwa yang dimaksud dengan kedalaman ilmu pada surat Ali 'Imran [3] ayat 7 itu adalah mengimani ayat-ayat mutasyabih, bukan berusaha untuk mengetahuinya.
6.      Ad-Darimi, dalam Musrsad-nya, mengeluarkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yasar yang menyatakan bahwa seorang pria yang bernama Shabigh tiba di Madinah. Kemudian, ia bertanya-tanya tentang takwil ayat-ayat mutasyabih. la lalu diperintahkan menemui 'Umar. 'Umar sedang memasang tangga ke pohon kurma ketika orang itu menemuinya. "Siapakah engkau?" tanya 'Umar. "Saya adalah 'Abdullah bin Shabigh." 'Umar lalu memukul orang itu dengan beberapa kayu dari tangga sehingga kepala orang itu berdarah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa 'Umar memukul orang itu dengan cambuk sehingga meninggalkan bekas pada punggungnya.
Ar-Raghib Al-Asfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi persoalan ini. Ia membagi ayat-ayat mutasyabih -dari segi kemungkinan mengetahui maknanya pada tiga bagian:[14]
1.      Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari Kiamat, keluar binatang dari bumi, dan sejenisnya.
2.      Bagian yang menyebabkan manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahuinya, seperti kata-kata asing di dalam Al-Quran.
3.      Bagian yang terletak di antara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya.
Inilah yang diisyaratkan sabda Nabi kepada Ibn 'Abbas:
Artinya:
"Ya Allah berilah pemadaman kepadanya dalam bidang agama dan ajarkanlah takwil kepadanya."
Di antara ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang berbicara tentang sifat- sifat Allah. Ibn Al-Labban telah menulisnya secara khusus dalam kiU- RaddAI- Ayat Al-Mutasyabihat. Contoh:
Artinya:
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayamdi atas 'Arsy."(Q.S. Thahaa (10) : 5)
Artinya:
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa/ kecuali wajah A Hal;." (Q.S. Al-Qashsash [28]: 88)
Artinya:
"Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (QS. Ar-Rahman [55] : 27)
Artinya:
"Tangan Allah di atas tangan mereka."(Q.S. Al-Fath(48) : 10)
Artinya:
"Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris." |Q5. Al-Fajr[89]:22.)
Artinya:
"Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya." (Q5. Al-An'am [6] : 61)

Artinya:
"Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah." (Q.S. Al-An'am [6]; 61)

Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1.      Madzhab salaf, yaitu para ulama yang memercayai dan mengimani ayat- ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al- Quran. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika ditanya tentang istiwa', ia menjawab
Artinya:
"Istiwa' itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui,dan mempelajarinya bid'ah. Aku mengira engkau adalah orang tidak baik,keluarkan dia dari tempatku.'[15]

Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat Islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada madzhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami yang menolak madzhab ini.[16]
2.      Madzhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan artiyang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta'akhirin. Imam Al-Haramain (W. 478 H.)[17] pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah An- Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti madzhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih[18]
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal gaib sebagaimana dituturkan Al-Quran, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa 'ditakwilkan dengan "keluhuran" yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. "Kedatangan Allah" ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. "Allah berada di atas hamba- Nya" menunjukkan Kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa Dia menempati suatu tempat. "Sisi Allah" ditakwilkan dengan hak Allah. "Wajah dan mata Allah" ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. 'Tangan" ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya, dan "diri" ditakwilkan dengan siksa-Nya.'9 Demikianlah, prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan antropomorpistikAllah pada ayat-ayat Al-Quran ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.
Untuk menengahi kedua madzhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-'ld mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat- ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat dipahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contohnya adalah Q.S. Az-Zumar [39] ayat 56 yang kami maknai dengan hak dan kewajiban Allah.[19]
Ibnu Qutaibah (w. 276 H.) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikatkebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahiriyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.[20]
5.     Hikmah Ayat Muhkam dan Mutasyabihah

·         Hikmah ayat Muhkam
1)      Menjadi rahmad bagi manusia khususnya orang-orang yang berkemampuan bahasa arab rendah
2)      Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya
3)      Mendorong ummat manusia untuk giat dalam memahami dan mempelajari Al-Qur’an
4)      Memperlancar usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
5)      Mempercepat usaha tahfidzul Qur’an

·         Hikmah ayat Mutasyabih
1)      Memberikan ruang gerak yang luas bagi umat islam dalam proses pengamalan isi Al-Qur’an
2)      Memberikan kesadaran kepada manusia, bahwa dirinya hamba yang lemah
3)      Mendorong umat Islam untuk lebih giat belajar Al-Qur’an
4)      Ujian dan cobaan bagi  kekuatan iman manusia, apakah dengan disamarkan ayat-ayat Mutasyabihah tersebut, manusia akan tetap beriman kepada Allah Swt atau akan mengingkariNya.
5)      Menambah pahala Ummat manusia karena adanya kesulitan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihah yang memerlukan keuletan, ketekunan,kesabaran dan kesungguhan.








B.  FAWATIH SUWAR

1.     Pengertian Fawatih Suwar
Istilah Fawatih as-Suwar terdiri dari dua kata, yaitu  fawatih dan as-suwar[21]. Fawatih merupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-suwar berarti adalah jamak taksir dari surah, yang berarti surah, dan as-suwar bermakna surah-surah. Dengan demikian, istilah Fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”.
Berdasarkan makna harfiah di atas, maka secara istilah  fawatih as-suwar berarti “ suatu ilmu yang  mengkaji tentang bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat permulaan surah-surah Al-Qur’an.  Fawatih Suwari juga dapat diartikan sebagai kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan bagian dari Mutasyabihat karena bersifat mujmal, mu’awal dan musykil.[22]
Tokoh yang banyak mengkaji mengenai fawatih as-suwar adalah Ibnu Abi Al- Usaybi’ dengan karyanya Al-Khawathir As-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Para mufassir setelahnya, ketika membahas ilmu fawatih as-suwar, banyak merujuk kepada buku tersebut.
2.     Macam-macam Bentuk Fawatih As-Suwari
Surah-surah Al-Qur’an dimulai dengan berbagai bentuk. Ia dimulai dengan bentuk yang bervariasi; ada yang sama dan ada pula yang berbeda. As-Sayuti, dengan merujuk kepada Ibnu Abi Al-Usaybi’, membagi bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat pembukaan surah-surah Al-Qur’an itu kepadaa sepuluh macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Surah-surah yang dimulai dengan pujian (ats-tsana). Terdapat 14 surah yang diawali dengan pujian, yaitu tahmid, tabaraka, dan tasbih.
Yang menggunakan lafal Tahmid terdiri dari lima surah, yakni :
-          Surah Al-Fatihah (1)
-          Surah Al-An’am (6)
-          Surah Al-Kahfi (18)
-          Surah Saba’ (34)
-          Surah Fathir (35)
Yang menggunakan lafal tabaraka ada dua surah, yakni:
-          Al-Mulk (67)
-          Al-Furqan (25)
Yang menggunakan lafal tasbih ada tujuh surah yakni:
-          Al-Isra’ (17)
-          Al-Hadid (57)
-          Al-Hasyar (59)
-          Ash-Shaff (61)
-          Al-Jumu’ah (62)
-          At-Taghabun (64)
-          Al-A’la (87)

2.      Surah-surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah atau huruf Muqaththa’ah (huruf potong).
Terdapat  29 surah yang dimulai dengan huruf potong tersebut. Adapun 29 surah itu terdiri dari lima bentuk, yaitu:
a.       Surah yang dimulai dengan satu huruf. Terdapat dalam tiga surah, yakni :
-          Surah  Qaf (50) yang dimulai dengan huruf ق
-          Surah Al-Qalam (68) yang dimulai dengan huruf ن
-          Surah Shad (38) yang dimulai dengan huruf ص
b.      Surah yang dimulai dengan dua huruf. Hal ini berjumlah sepuluh surah, tujuh surah dimulai dengan حم[23], dan tiga surah lainnya, yakni :
-          Surah Thaha (20) yang dimulai dengan طه
-          Surah Yasin (36) yang dimulai dengan يس
-          Surah An-Naml (27) yang dimulai dengan طس
Tujuh dari sepuluh surah diatas dinamakan hawwaamiim.[24]

c.       Surah yang dimulai dengan tiga huruf, yaitu berjumlah 13 surah. Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an, yaitu    ا لم  sebanyak 6 surah,  ا لر sebanyak lima surah, dan طسم dua surah.
Enam surah yang diawali ا لم  adalah :
-          Surah  Al-Baqarah (2)
-          Surah Ali Imran (3)
-          Surah Al- Ankabut (29)
-          Surah Ar-Rum (30)
-          Surah Lukman (31)
-          Surah As-Sajadah (32).
Lima Surah yang diawali ا لر adalah :
-          Surah Yunus (10)
-          Surah Hud (11)
-          Surah Yusuf (12)
-          Surah Ibrahim (14)
-          Surah Hijr (15)
Dua surah yang diawali dengan طسم adalah :
-          Surah As-Syu’araa (26)
-          Surah Al Qashash (28)

d.      Surah yang  dimulai dengan empat huruf ada dua surah, yaitu :
-          Surah Al-A’raf (7) diawali dengan ا لمص 
-          Surah Ar Ra’du (13) diawali dengan  ا لمر 

e.       Surah yang diawali dengan lima huruf, hanya ada satu yaitu :
-          Surah Maryam (19) yang diawali dengan  كهيعص

3.      Surah yang dimulai dengan panggilan ( an-nida’ ).
Hal ini berjumlah 10 surah, lima diantaranya panggilan kepada Nabi Muhammad Saw, dan lima lainnya kepada ummat.
Panggilan kepada Nabi Muhammad Saw terdapat dalam surah berikut, yakni:
-          Surah Al-Ahzab (33)
-          Surah Ath-Thalaq (65)
-          Surah At-Tahrim (66)
-          Surah Al-Muzzammil (33)
-          Surah Al-Muddatstsir (74)
Panggilan kepada Ummat terdapat dalam surah berikut ini, yaitu:
-          Surah An-Nisa’ (4)
-          Surah Al-Hajj (22)
-          Surah Al-Maidah (22)
-          Surah Al-Mumtahanah (60)
-          Surah Al-Hujurat (49)

4.      Surah yang dimulai dengan jumlah khabariyah (kalimat berita).
-          Surah Al-Anfal (28)
-          Surah Al-Mu’minun (23)

5.      Surah yang dimulai dengan qasam (sumpah).
-          Surah Al-Buruj  (85)
-          Surah Al-‘Ashr  (103)
-          Surah As-Syams (91)

6.      Surah yang dimulai dengan jumlah syarthiyah.
-          Surah Al-Waqi’ah (56)
-          Surah Az-Zalzalah (99)
-          Surah An-Nashr (110)

7.      Surah yang dimulai dengan kalimat perintah (al-amr.
-          Surah Al ‘Alaq (96)
-          Surah Al-Kafirun ( 109)
-          Surah Al-Ikhlas (112)
-          Surah An-Nas (14)
-          Surah Al-Falaq (113)
-          Surah Al A’la (97)

8.      Surah yang diawali dengan pertanyaan ( istifham ).
-          Surah Al-Insan (76)
-          Surah Al-Ma’un (107)

9.      Surah yang dimulai dengan do’a dan harapan.
-          Surah l-Mutafhifhin  (83)
-          Surah Al-Humazah (109)
-          Surah Al-Lahab (111)

10.  Surah yang dimulai dengan Ilat (ta’lil)
-          Surah Al-Quraisy (106)

3.     Pendapat Ulama tentang Makna Fawatih As-Suwari

Fawatih As-Suwari (pembuka-pembuka surah) ada 29 macam, yang terdiri dari 13 bentuk.[25] Adapun huruf yang paling banyak digunakan secara berurutan ialah: alif, lam, mim, ha (diringankan), ra, sin, tha, shad, ha(diberatkan), ya, ‘ain, qaf, nun. Huruf-huruf awalan yang tidak disebut semuanya berjumlah 14. Itu berarti setengah dari jumlah huruf hijaiyah (alfabet).
Fawatih As-Suwari ini menjadi bukti kepada bangsa Arab, bahwa Al-Qur’an digunakan dengan mempergunakan huruf-huruf yang mereka kenal. Ini merupakan teguran keras bagi mereka dan sekaligus membuktikan ketidakmampuan mereka membuat semisal Al-Qur’an.[26]
Apabila kita klasifikasikan, huruf-huruf yang terdapat dalam Fawatih As-Suwari, yaitu:
a.       Golongan huruf-huruf halq[27] (yang suaranya keluar dari kerongkongan)
b.      Golongan huruf-huruf mahmusah[28] (yang suaranya seperti bisikan)
c.       Golongan huruf-furuf mahjurah (yang suaranya dikeraskan) ialah hamzaah, miim, laam, ‘ain, thaa, qhaf, ya, nun.
d.      Golongan huruf Syafahi (suaranya di bibir ) ialah mim.
e.       Golongan huruf qalqalah (suaranya bergerak apabila dimatikan) ialah qaf dan tha.

Para ulama salaf dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat yang terletak pada awal surah berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikian rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan yang seperti Al-Qur’an.[29] Untuk lebih jelasnya dari apa yang dikemukakan diatas, berikut ini pendapat atau penafsiran para mufassir tentang Fawatih As-Suwari, diantaranya adalah:
1.      Mufassir dari Kalangan Tasawuf
Ulama Tasawuf berpendapat bahwa fawatih As-Suwari, adalah huruf-huruf yang terpotong-potong yang masing-masing diambil dari nama Allah, atau yang tiap-tiap hurufnya merupakan pengganti dari suatu kalimat yang berhubungan dengan yang sesudahnya, atau huruf itu menunjuk kepada maksud yang dikandung oleh surah yang surah itu dimulai dengan huruf-huruf yang terpotong-potong itu.

2.      Mufassir Orientalis
Pendapat yang palling jauh menyimpang dari kebenaran adalah dari seorang Orientalis yang bernama Nolkede, yang kemudian dikoreksi bahwa awalan surah itu tidak lain adalah huruf depan dan huruf belakang  dari nama-nama para sahabat Nabi. Misalnya, huruf sin adalah dari nama Sa’ad bin Abi Waqash.
3.      Al-Khuwaibi
Al-Khuwaibi mengatakan bahwa kalimat-kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi. Mungkin adasuatu waktu Nabi berada dalam keadaan sibuk dan lain sebagainya.
4.      Rasyid Ridha
Rasyid Ridha berpendapat bahwa tanbih yang dimaksud di atas adalah dihadapkan kepada orang-orang musyrik di Mekah, kemudian kepada Ahli Kitab di Madinah.
5.      Mufassir dari Kalangan Syi’ah
Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa jika huruf-huruf awalan itu dikumpulkan setelah dihapus ulangan-ulangannya maka akan berarti صرا ط علي علي حق  “ Jalan Ali adalah kebenaran yang kita pegang teguh “. Pentakwilan itu kemudian dijawab oleh kelompok ahlu sunnah, dan jawabannya berdasarkan pengertian yang mereka peroleh dari huruf-huruf awalan itu yang juga dihapus ulangan-ulangannya, dengan mengatakan “benarlah jalanmu bersama kaum ahlu Sunnah”.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat dilihat bahwa pentakwilan sebuah ayat sangat banyakmacamnya. Hal ini boleh jadi didasari oleh pendidikan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya serta kecenderungan mereka mengkaji Al-Qur’an secara lebih luas.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.
2.       Mutasyabihat  adalah  kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang  masih belum jelas maksudnya, tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu, hal itu karena ayat Mutasyabih besifat mujmal (global)  dan membutuhkan rincian yang mendalam.
3.      Ciri-ciri Muhkam adalah  lafalnya sudah dapat dipahami akal  dan hanya mempunyai satu penafsiran  makna, sedangkan ciri-ciri Mutasyabihah adalah lafalnya masihmembutuhkan penalaran karena memiliki banyak wajah dan hanya Allah Swt yang mengetahui maksud utama arti ayat tersebut.
4.       Istilah Fawatih as-Suwar terdiri dari dua kata, yaitu  fawatih dan as-suwar. Fawatih merupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-suwar berarti adalah jamak taksir dari surah, yang berarti surah, dan as-suwar bermakna surah-surah. Dengan demikian, istilah Fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”. Secara istilah  fawatih as-suwar berarti “ suatu ilmu yang  mengkaji tentang bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat permulaan surah-surah Al-Qur’an. 
5.      Hikmah ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabihah sangat banyak, salah satunya agar kita lebih giat lagi dalam mendalami dan mempelajari Al-Qur’an sbagai sumber sekaligus pedoman kita.


B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis  uraika, apabila terdapat kesalahan, hendaknya memberikan kritik dan sarannya agar pembuatan makalah penulis bisa lebih baik lagi. Dan diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui dan memahami ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihah serta Fawatihus Suwar dengan lebih mendalam.








DAFTAR PUSTAKA

Qathan Mana’ul. 1995. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 . Jakarta: Rineka Cipta
As-Shalih Dr. Subhi. 2008.  Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumul Qur’an, Juz 2, Dar Al-Fikr.
Muhammad Al-Bakr Ismail. 1991. Dirasat fi Ulumul Qur’an, cet.1 Dar Al-Manar,.
Soleh Dar Al-Subhi. 1993. Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahits fi Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,
Drs. Anwar Abu, M.Ag, 2009.Ulumul Qur’an. Jakarta: Amzah
Dr. M. Yusuf, Kadar. 2010. Studi Al-Qur’an. Jakarta : Amzah



[1] Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 . Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hlm. 1
[2] Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdau, 2008, hlm. 398
[3] As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumul Qur’an, Juz 2, Dar Al-Fikr, hlm. 2
[4] Muhammad Al-Bakr Ismail, Dirasat fi Ulumul Qur’an, cet.1 Dar Al-Manar, 1991, hlm.211
[5] Mana’ul Qathan, op.cit., hlm. 3
[6] Dar Al-Subhi Soleh. Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahits fi Ulumul Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hlm. 372
[7] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an , Jakarta : Amzah, 2009 hlm. 79
[8]Ibid., hlm. 146.
[9]Ibid.
[10]Manna Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Mansyurat AI-'Ashr Al-Hadis, ttp., 1973, hlm. 217.
[11]Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi 'Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam Ii Al-Malayyiä Beirut. 1988, hlm. 282.
[12]Ibid.. hlm. 147-149.
[13]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya.
[14]Ash-Shalih, op.cit.,him. 282-283.
[15]Ibid., hlm. 284.
[16]Al-Husni, op. cit., hlm. 151.
[17]Ia adalah 'Abdul Malik bin Abi 'Abdillah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Asy-Syafi'i Al-'lraqi, Abu Al- Ma'ali. la adalah gurunya Imam Al-Ghazali dan murid terkemuka Imam Asy-Syafi'i Biografi lengkapnya dapat dilihat pada Ibnu Khallikan, Wafayat Al-A'yan, Jilid 1. hlm. 287. Lihat pula Ash-Shalih, op. cit., hlm. 284.
[18]Al-Hasani, op. cit., hlm. 151
[19]Ash-Shalih, op. cit, hlm, 285.
[20]Al-Husni, op. cit., hlm. 151-152.
[21] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2010, hlm.55
[22] Drs. Abu Anwar, S.Ag, Ulumul Qur’an, Jakarta: Amzah, 2009, hlm.88
[23] Ketujuh surah tersebut adalah Surah Al-Mu’min (40), Fushilat (41), Asy-Syura (42), Az-Zukhruf (43), Ad-Dukhan (44), Al-Jasyiyah (45), dan Al-Ahqaf (46).
[24] Hawwaamiim (jamak dari haa miim) , surah-surah yang diawali dengan ha dan mim. Lihat pada H. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 124
[25] Tiga bentuk tersebut adalah: Alif Lam Mim, Tha Siin Miim, ‘Ain Siin Qaaf, Alif Laam Mimm Shaad, Alih Laam Miim Raa, Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad, Yaa Siin,  Thaa Siin, Thaa Haa, Shad, Qaaf, Nuun. Lihat pada tafsir Al-Kasysyaf 1, hlm: 304.
[26] Subhi Soleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 304
[27] Hurufnya berjumlah enam buah, yaitu hamzah, ha(berat), ‘Ain, haa (ringan), ghain, dan kha.
[28] Huruf mahmusah ada sepuluh buah, yaiti faa, haa(ringan), tsa, ha(berat), syiin, khaa, shad, siin, kaaf, dan taa.
[29] M. Hasbi As-Shiddiqi, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, hlm. 127









Tidak ada komentar:

Posting Komentar